Kehidupannya

Kehidupannya

Venerable Marie Madeleine d’Houët

Pendiri Suster-suster Sahabat Setia Yesus, Marie Madeleine adalah seorang perempuan jaman kita; seorang Prancis yang penuh inspirasi dan keberanian. Seorang anak perempuan, saudari, teman, istri, janda dan ibu.


Sebagai seorang janda, sementara dia menanti, mencari, dan terus melakukan kebaikan bagi orang lain, dia mendapat inspirasi dari semangat Ignasius Loyola  yang dilihatnya secara nyata dalam hidup para Yesuit di St. Acheul, Amiens dan yang ia serap dari percakapan-percakapannya dengan Rm. Varin SJ.   Akhirnya, setelah mendapatkan pengalaman-pengalaman rohani yang mendalam, diikuti dengan banyak pencobaan dan kesulitan, di dalam masa pasca-revolusi Prancis, Marie Madeleine menjadi seorang biarawati dan pendiri kongregasi yang dikenal sebagai Faithful Companions of Jesus/ FCJ (Sahabat Setia Yesus).

Para sahabat pertama melayani kaum perempuan dan anak-anak di Amiens. Ketika FCJ berkembang, Marie Madeleine melakukan banyak perjalanan untuk mendirikan beberapa komunitas di Prancis, Inggris, Irlandia, Italia (Savoy) dan Swiss.  Sementara ia berkomitmen pada Kongregasi, Marie Madeleine tetaplah seorang ibu yang penuh kasih bagi Eugène dan nenek bagi cucu-cucunya. Setelah kematian Marie Madeleine pada tahun 1858, beberapa komunitas FCJ didirikan di Australia, Kanada, Skotlandia, Belgia, USA dan Jersey. Selanjutnya komunitas FCJ juga didirikan di Sierra Leonne, Indonesia, Filipina, Argentina, Rumania, Meksiko dan  Myanmar. Para suster FCJ bekerja dalam beragam kerasulan dan hidup bersama dalam komunitas. Di atas segalanya, misi mereka adalah menjadi sahabat Yesus, yang rindu untuk menghadirkan Yesus ke dunia.

Marie Madeleine telah menjalani hidupnya dengan penuh keberanian dan keyakinan akan kasih Allah. Keberanian dan keyakinan ini menjadi doanya bagi banyak orang dan sekarang bagi kita.

Mari kita melihat kisahnya secara lebih dekat —

Namanya

Dibaptis dengan nama Marie Madeleine Victoire, waktu kecil dipanggil Gigi, semasa gadis disebut Victoire, dan sebagai istri dan janda dikenal dengan nama Ibu Joseph. Bagi orang lain lagi, dia disebut Madame d’Houët. Dia sendiri menulis,

Nama saya adalah Magdalena. Saya akan mengikuti santa pelindung saya yang begitu mencintai Yesus,... dengan menemani Dia dalam perjalanan dan karya-Nya, melayani Dia bahkan sampai ke kaki Salib bersama para perempuan kudus yang tidak seperti para rasul yang meninggalkan Dia, melainkan membuktikan diri sebagai sahabat-sahabat setia Yesus.

Madeleine adalah bahasa Prancis dari Magdalena dan inilah alasan mengapa kami memanggil dia Marie Madeleine.

Tahun-tahun Awal

Marie Madeleine Victoire de Bengy dilahirkan tanggal 21 September 1781 di Châteauroux, Prancis dalam keluarga besar.  Selain ayah-ibu dan adik-adiknya, ia dikelilingi banyak bibi, paman dan sepupu.  Keluarganya bahagia, terlindung dan telah lama menetap di Berry, Prancis. Beberapa anggota keluarga memegang posisi penting baik di gereja maupun kerajaan.  Dengan pecahnya Revolusi pada tahun 1789, keluarga ini mengalami kesulitan, penjara dan pembuangan.

Gigi, sebagaimana ia dikenal semasa kanak-kanak, dekat dengan orang tuanya. Ketika ia berusia satu tahun, kakaknya Etienne yang berusia dua tahun meninggal. Kita bisa membayangkan bagaimana Gigi menjadi sangat berharga bagi kedua orang tuanya. Umur Gigi hampir 3 tahun ketika Claude lahir, 6 tahun ketika Angèle lahir dan 14 tahun ketika Philippe lahir. Philippe menganggap Gigi sebagai ibunya yang kedua.

Nyonya de Bengy adalah seorang ibu yang penuh cinta dan bijaksana. Dia menunjukkan keberanian dan ketabahan ketika suaminya dipenjara oleh para pemberontak. Dia tidak menjadi hancur oleh kesulitan dan tidak membiarkan dirinya putus asa.

 

Ketika situasi berubah, dia melakukan upaya untuk membebaskan suaminya sekaligus membesarkan anak-anak mereka di daerah pertanian yang terpencil di Pouplan. Dia melatih Victoire seni merawat dan mengelola rumah. Namun teladan ibunya dalam kesetiaan berdoa dan kepercayaan akan Allah-lah yang tinggal dalam diri Victoire sampai akhir hidupnya.

Victoire mencintai ibunya, tetapi nampaknya ayahnyalah yang  menjadi pusat kehidupan di masa kecilnya. Ketika Nyonya de Bengy memanggil anak-anaknya untuk berdoa bagi pembebasan ayah mereka, Victoire diam-diam berdoa agar dia juga dipenjara dan meninggal bersama ayahnya.

Doa Victoire tidak terkabul! Segera setelah ayahnya dibebaskan, keluarganya pindah dari Châteauroux ke Issoudun. Nona Victoire yang berusia 18 tahun, yang tidak lagi dipanggil Gigi, memasuki tahap baru dalam perjalanan hidupnya.

Suka dan Duka

Persahabatan

Victoire berteman dengan seorang gadis seusianya yang bernama Constance de Rochfort. Keduanya tidak terpisahkan, mereka bisa berbicara lama berjam-jam, saling membagikan kegembiraan dan masalah mereka. Berdua mereka berkeliling kota, mengunjungi orang-orang yang sakit, menolong orang yang membutuhkan dan menjadi relawan yang melayani rumah jompo St. Roch.

Seperti banyak remaja yang dikobarkan oleh rasa keadilan, Victoire marah ketika ia mengetahui bahwa orang-orang yang melayani orang sakit di Hospice itu mengambil makanan dan anggur yang diperuntukkan bagi pasien. Sejak kecil keluarganya telah menyadari bahwa Victoire sangat tegas, bahkan cenderung keras kepala, sehingga tidak seorang pun yang heran ketika dia melaporkan pelanggaran tersebut pada pihak penguasa dan mempertahankan kasusnya sampai situasinya diperbaiki.

Pernikahan yang penuh cinta

Sesuai dengan kebiasaan pada masa itu, ayah Victoire memilihkan calon bagi Victoire, Joseph de Bonnault d’Houët. Meskipun diatur oleh orang tua kedua belah pihak, baikVictoire maupun Joseph sama-sama memasuki pernikahan dengan rasa hati bebas dan gembira. Constance sangat menyadari bahwa persahabatannya dengan Victoire akan berubah dan dia tahu juga bahwa Victoire tidak melihat hal yang sama! Saya tidak mau kehilangan kegembiraan dari pembicaraan saya denganmu hanya karena kamu telah bersuami. Saya sakit hati padanya sejak lama karena ia menyebabkan perpisahan kita. Yang lebih menyedihkan saya adalah saya sungguh takut bahwa kamu tidak merasakan hal yang sama dengan saya!

Victoire dan ibunya dengan bersemangat merencanakan perkawinan itu.  Mereka membuat daftar dan pergi berbelanja, memilih bahan dan model untuk gaun pengantin.  Sutera, wol dan jenis lain.  Nona Jannette dipercaya untuk membuat pakaian dalam dan enam jas pagi dari bahan katun yang terbaik.

Secara umum ada kegembiraan atas pernikahan yang terjadi di Katedral Bourges yang luas itu pada tanggal 21 Agustus 1804.

Joseph dan Victoire merupakan pasangan yang menarik saat mereka memasuki kehidupan sosial di Bourges. Keduanya berasal dari keluarga yang terkenal. Mereka juga bahagia di rumah mereka dimana mereka membaca dan berdoa bersama. Seperti yang dibuat bersama Constance, Victoire dan Joseph mengunjungi orang sakit. Joseph juga mengunjungi para tahanan perang asal Spanyol yang ditahan di kota itu, memberikan makanan dan hiburan bagi mereka. Dia percaya, seperti mertuanya, bahwa kekayaan terbesar yang dapat dimiliki seseorang adalah penghargaan dari teman-teman di kotanya; untuk mendapatkan hal itu seseorang harus membuat dirinya berguna.

Janda muda

Dari pelayanannya ini Joseph mendapat demam tiphoid. Dia menderita sakit parah selama 6 bulan, dan walaupun dilayani dengan penuh kelemahlembutan oleh Victoire, Joseph meninggal sebelum genap satu tahun pernikahan mereka. Pemakamannya didahului dengan misa Requiem di Katedral tempat mereka dulu menikah. Victoire yang saat itu sedang hamil sungguh-sungguh berduka cita dan seluruh kota kaget dengan kematian mendadak dari seorang muda yang murah hati dan pengasih ini. Di antara surat-surat ungkapan belasungkawa terdapat satu surat dari Constance de Rochfort: Sahabat terkasih, engkau mempunyai iman yang hidup, engkau bijaksana. Dalam dirimu sendirilah engkau akan menemukan sumber penghiburan yang terbesar. Dalam dua status yang telah diberikan Allah padamu, engkau telah menjadi teladan bagi para putri dan istri. Sebentar lagi, engkau juga akan menjadi teladan bagi para ibu.

Mas kawin yang diterima Victoire dari kedua orang tuanya adalah rumah besar di desa Parassy. Itu adalah suatu tempat yang indah, dikelilingi padang rumput, ladang dan kebun anggur. Victoire dan Joseph tinggal di sana sejak satu hari setelah pernikahan mereka. Dua minggu setelah Joseph meninggal, Victoire kembali ke sana, mencoba mengatasi rasa kehilangannya. Dia tidak membiarkan dirinya larut dalam kesedihan karena dia sedang mengandung 8 bulan.

Orang tua tunggal

Penting sekali bahwa Victoire kembali ke rumah keluarga de Bonnault untuk melahirkan. Anaknya, Eugène, ahli waris dari Joseph, lahir 23 September 1805.

Walaupun dirawat dengan penuh kasih oleh kedua keluarga, tampaknya Victoire menderita depresi akibat melahirkan.  Dia terus menerus khawatir karena takut anaknya akan meninggal, dan mengatur bahwa saat dia pulang ke rumah ada seseorang yang berdiri di dekat jendela dan melambaikan tangan agar dia yakin bahwa segalanya baik-baik saja.  Dia mendapat mimpi-mimpi buruk dimana dia melihat pemakaman dirinya sendiri.  Tetapi perlahan-lahan dia pulih dan kembali menikmati pesta-pesta dan pertunjukan.  Dia kembali bekerja seperti yang telah dibuatnya saat masih bersama suaminya.  Dia menggunakan kekayaannya untuk menolong orang lain sampai-sampai ada seorang pembunuh yang sedang diadili di  Châteauroux mengatakan bahwa tiga orang kaya di kota itu dan dua yang lain akan dibunuh – tetapi Ibu de Bonnault tidak.  Menurut pembunuh ini, Ibu de Bonnault menggunakan uangnya untuk kebaikan!

Joseph pernah mengatakan kepadanya: Jika Allah memberikan kepada kita seorang puteri, didiklah dia seperti ibumu mendidik kamu, dan sekarang dia melindungi mati-matian pembentukan putranya. Karena selalu takut akan kehilangan Eugène, Victoire tidak mau mendidik Eugène dengan disiplin sampai-sampai ibu mertuanya mengancam untuk ikut campur. Ancaman ini membuat Victoire mengubah sikapnya!

Setiap kali Victoire memandang  Eugène, yang menurut kakeknya sangat mirip ayahnya, Victoire menyadari apa yang tidak dialami oleh Joseph.  Ketika dia mengamati dengan penuh minat bagaimana anak dan cucu-cucunya berkembang dalam profesi yang mereka pilih, pastilah dia teringat akan Joseph yang tidak ada di sana untuk ikut menikmati kebahagiaan tersebut.

Sepupu Victoire, Claude dan istrinya, tinggal di dekat mereka.   Anne-Augustine kira-kira seumur janda muda itu dan karenanya menjadi dekat dengan dia.  Anak mereka yang pertama, Armande, sering bermain bersama  Eugène sementara kedua ibu muda itu menikmati kesukaan mereka akan barang-barang antik.

Menanti dan Mencari

Seiring berjalannya waktu, terserap oleh upaya membesarkan Eugène, pengelolaan rumah dan tanahnya serta kewajiban dalam keluarga, Victoire bertumbuh dalam perannya sebagai orang tua tunggal. Efek dramatis akibat kematian Joseph dan situasinya yang menjanda secara begitu cepat perlahan-lahan mulai terlupakan. Victoire mulai mengambil tempatnya di dalam masyarakat lagi. Dia berpikir serius untuk menikah lagi dan memberitahukan rahasianya pada adiknya, Angèle,yang sangat ia percaya.

Victoire membawa masalahnya kepada Abbé Gaudin, seorang pastor yang suci dan penasehat yang bijaksana. Dia mengatakan pada pastor tersebut bahwa dia menerima pinangan yang sangat bagus, yang selain menjanjikan akan adanya cinta dan kebahagiaan pribadi, juga dapat menjadi penyembuh penderitaan yang muncul akibat relasi-relasi keluarga yang sulit. Victoire menceritakan pada Abbé Gaudin tentang kekuatiran keluarga suaminya mengenai pengelolaan harta keluarga dan pendidikan cucu serta pewaris mereka.

Abbé Gaudin memberikan nasehat kepada Victoire untuk beroda.

Dalam doanya, Victoire yang sekarang berusia 28 tahun, haus akan kedamaian, cinta dan kebahagiaan rumah tangga yang tenang, sungguh-sungguh dikejutkan oleh pertemuannya dengan Tuhan.

Bertahun-tahun kemudian dia bercerita pada Abbé Georgelin, pastor di Paris, tentang perjuangannya. Menurutnya suatu hari setelah komuni dia sungguh-sungguh yakin bahwa dia dipanggil untuk hidup lebih percaya dan bahwa Allah akan mencarikan suami yang terbaik baginya. Dia bercerita pada Abbé bahwasetelah menolak sekian lama, saya menyerah.

Konsekuensi sosial

Kesenangan menjadi kurang penting bagi Victoire. Yang pertama ia tinggalkan adalah menonton pertunjukan. Doanya makin mengakar dan ia mulai menerima sakramen-sakramen dengan lebih sering. Tetapi, karena tidak mau memamerkan kesalehan, Victoire sangat berhati-hati memilih jalan ke gereja untuk Misa pagi dengan rute yang berbeda-beda agar tidak menarik perhatian.

Victoire lebih sering mengunjungi Parassy dan menikmati waktu bersama orang-orangnya, para pekerja kebunnya serta keluarga mereka. Kebanyakan dari mereka adalah petani dan pekerja kebun anggur yang menjadi tanggung jawabnya. Bagi mereka, dia adalah la bonne dame (nyonya yang baik) yang selalu siap menolong saat dibutuhkan, entah untuk merawat anak yang sakit, menutup hutang yang sulit, memperbaiki gudang, mengganti bagian mesian. Nyonya adalah majikan yang baik kata mereka. Dan ketika sama sekali tidak ada imam, Victoire mengajarkan mereka cara doa dan menghidupi iman.

Seperti suaminya, Victoire terus menerus sadar akan kebutuhan dan penderitaan para tahanan di penjara. Banyak orang Spanyol yang ditahan di Bourges. Victoire secara teratur membeli roti untuk mereka dan pada tahun 1809 mengunjungi mereka dengan samaran, bersama Puteri-Puteri Belas Kasih, untuk merawat mereka. Seperti Joseph, dia juga terkena penyakit menular yang berbahaya itu. Tetapi tidak seperti Joseph ataupun Puteri Belas Kasih yang bekerja bersama dia, Victoire dapat sembuh. Pengalaman sakit ini menjadikan Victoire sangat berhati-hati seumur hidupnya pada hal-hal yang menyangkut kesehatan orang lain.

Ketika 6 orang pastor dari kelompok Faith diundang untuk berkotbah mengenai misi di Bourges, Victoire meminta agar mereka tinggal di rumahnya di Jalan Paradis. Dia terus meminta dengan penuh semangat sampai semua halangan dan kesulitan teratasi dan dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Ketika tugas mereka selesai, Victoire mengundang para imam ini untuk tinggal sebentar di Parassy.

Keramahtamahan bagi para pengungsi

Pada tahun 1813 tigapuluh imam Italia yang dipaksa pergi ke pembuangan oleh Napoleon tiba di Bourges. Karena ingat bahwa paman dan sepupunya pernah dipaksa melarikan diri saat Revolusi, Ibu d’Houët menerima 7 imam tersebut di rumahnya di jalan Paradis di Bourges. Mereka tidak pernah lupa akan kebaikan dan keramahan yang mereka terima dari dia. Ibu d’Houët bukan saja menerima mereka dan memberi makan, tetapi juga mencukupi kebutuhan mereka akan pakaian dan lain-lain.

Hati yang lapar akan kebahagiaan

Pada tahap ini dari hidupnya, Victoire telah menunjukkan identitas dirinya lewat relasi-rleasinya. Sebagai  Ibu dari Eugène, Ibu Joseph, Nyonya Parassy, anak perempuan, saudari, menantu perempuan.  Tetapi dari lingkaran yang telah memberinya identitas dan keamanan ini, ia dibimbing oleh serentetan panjang peristiwa menuju sesuatu yang baru.

Perjuangan untuk mewujudkan apa yang diminta Allah sangatlah berat.  Pikiran untuk menikah lagi tetap ada, walaupun Victoire merasa bahwa Allah memanggilnya untuk sesuatu yang lain yang belum jelas baginya.  Doanya adalah agar dia dapat mengerjakan apa yang Allah minta darinya, dan melakukannya dengan setia dan penuh kegembiraan.

Selain mengurus anaknya, orang tua yang mulai tua, pengungsi, Victoire juga menjadi administrator.  Di samping mengurusi tanahnya sendiri, ia juga mengurus harta Eugene sebagai wali.  Bertahun-tahun ia pergi ke Parassy untuk memanen anggur – Parassy merupakan tempat dimana ia dan Joseph pergi segera sesudah menikah, dan tempat dimana ia bersama adik dan ipar perempuannya tinggal setelah kematian Joseph.  Ketenangan dan keindahan Parassy selalu menjadi berkat baginya dan seiring waktu kenangan akan Parassy menjadi lebih berharga.

Menemukan sekolah yang baik

Walaupun tampaknya aneh, konsekuensi pilihan Victoire akan sekolah Eugène membawa konsekuensi yang mengubah hidup Victoire sendiri. Pada tahun 1814, Uskup Amiens mengundang para imam Yesuit untuk membuka sekolah di St. Acheul di kota Amiens. Victoire menyambut berita ini dengan sukacita dan memutuskan mengirim Eugène ke sekolah yang baru tersebut walaupun sangat jauh dari rumah. Sang ibu yang memanjakan anaknya ini mengatur agar dia sendiri bisa tinggal di Amiens untuk menolong putranya agar cepat kerasan. Dia juga menemukan kerja sukarela yang bisa dibuatnya di sekolah. Victoire mulai menghargai misi dan karya para imam Yesuit.

Pada tahun 1814, Uskup Amiens mengundang para imam Yesuit untuk membuka sekolah di St. Acheul di kota Amiens. Victoire menyambut berita ini dengan sukacita dan memutuskan mengirim Eugène ke sekolah yang baru tersebut. Victoire mulai menghargai misi dan karya para imam Yesuit.

Victoire melihat Eugène dalam diri setiap anak; senar itu selalu bergetar dengan nada yang paling dalam di dalam hati saya.  Victoite mengakui bahwa pikirannya tidak pernah lepas dari Eugène.  Seperti orang tua lainnya, dia menyimpan semua surat yang ditulis Eugène dari sekolahnya, tentang kesehatannya, makanan, teman-teman, pelajaran dan ulangan-ulangan; pertanyaan Eugène mengenai rumah, ibunya, kakek dan neneknya dan juga kabar kebun anggur di Parassy!

Dengan selalu mengingat Eugène, hati dan budi Victoire juga menjangkau orang-orang muda yang tidak mempunyai kesempatan seperti anaknya.  Dia memperlakukan Ferdinand Jeantier, murid di St. Acheul yang agak ringkih dan jauh dari orang tuanya, sebagai anaknya yang kedua.  Dia memberi Ferdinand hadiah-hadiah ketika dia mengunjungi Eugène, dan membawa Ferdinand ke Parassy setiap kali libur musim panas yang panjang.

Melalui kontaknya dengan kolese St. Acheul, Victoire menjadi sangat menghargai misi dan karya imam Yesuit.

Menyerap Semangat Serikat Yesus

Kejadian yang penting pada tahun 1815 mempunyai konsekuensi yang tak terduga bagi Victoire.  Ketika Napoleon melarikan diri dari Elba, Joseph Varin yang dulunya adalah seorang tentara Kerajaan dan sekarang menjadi imam Yesuit, kembali menjadi buronan.  Victoire menawarkan kepadanya perlindungan yang aman di Parassy, walaupun – dengan mengutip kata-katanya sendiri: ada pikiran ngeri muncul.  Saya mengira bahwa jika Rm. Varin datang ke rumah saya berarti saya harus menjadi suster.  Walaupun takut, dia tidak menarik tawarannya.  Imam Yesus tersebut tinggal di rumah Victoire selama lima bulan.  Berkat dia, Victoire makin mengenal Serikat Yesus, serta menyerap semangat Serikat Yesus dari percakapan dengan dia dan mempraktekkan spiritualitas mereka.

Saat dia mulai menjalani hidup doa dan discernment yang teratur, kualitas karakter Victoire yang sangat dikenal keluarganya (apa yang Victoire inginkan pasti dia dapatkan, demikian kata ibunya dulu) berubah menjadi kehendak kuat bahwa apa yang Allah inginkan pasti akan Allah dapatkan.

Salah satu peristiwa mengajarkannya untuk percaya.  Setiap hari Victoire sadar akan apa yang disebutnya berita rinci yang mengerikan mengenai kedatangan tentara.  Sebentar lagi para tentara akan masuki desanya dan para perwira tiba di rumahnya.  Mereka tidak mempedulikan apa yang saya katakan, tapi berbicara dan bertindak sendiri seakan-akan mereka memiliki rumah tersebut.  Saya sangat takut dan berdoa dengan segenap hati saya kepada Tuhan  Tetapi situasinya berubah ketika sang Kolonel menyadari bahwa dia adalah kakak dari Claude de Bengy, teman sekelasnya.  Saya harus mengakui, Nyonya, bahwa posisi kamu sebenarnya lebih tidak menyenangkan dan berbahaya dari yang kamu bayangkan

Victoire membutuhkan keberanian dan kepercayaan yang besar dalam tahun-tahun mendatang.

Keputusan penting

Langkah demi langkah, walaupun tidak pernah seperti garis lurus, Victoire mengikuti apa yang dia percaya sebagai jalan yang disediakan baginya. Seorang pastor misionaris yang dia mintai nasehatnya di Bourges, setelah mendengarkan dia memberikan pendapatnya bahwa Allah meminta seluruh hatimu.  Kamu harus memberkan segalanya kepada Dia.  Pendapat ini ditegaskan tahun berikutnya, 1819 di Amiens, ketika Rm. Sellier mendesak saya untuk hidup dengan lebih sempurna dan mengikrarkan kaul kemurnian.  Dengan yakin saya menolak keduanya.  Dengan jujur Ibu d’Houët mengakui bahwa sekembalinya ke Bourges dia mengalami kebosanan dan rasa tidak suka yang mendalam pada kesenangan-kesenangan yang membuatnya sulit untuk ikut dalam kehidupan sosial lagi.

Pada Minggu Tritunggal Mahakudus, 1817, saat dia berdoa sebelum Misa:

tiba-tiba dinyatakan kepada saya bahwa Allah menginginkan saya mengikrarkan kaul kemurnian di situ dan saat itu juga, di hadapan-Nya. Permintaan ini begitu jelas dan nyata, sehingga walaupun sebelumnya saya selalu menolaknya dengan kuat, saat itu saya tidak lagi menolaknya sedikit pun.. Saya siap dan bergembira untuk mengikrarkan kaul itu.

Victoire segera mengikrarkan kaul kemurnian, dengan syarat bahwa ia akan memperbaharuinya pada hari yang disetujui Rm Varin kalau Rm Varin menyetujui apa yang dia perbuat ini.

Baru enam bulan kemudian Rm Varin menyatakan persetujuannya.  Tetapi selama waktu itu banyak orang dan kejadian telah membingungkan Victoire sehingga semua ketakutan lamanya muncul lagi.  Saya dengan kuta menolaknya.  Saya katakan bahwa jika Allah memanggil saya untuk menjadi seorang suster saya akan melakukan itu dengan senang hati.  Tetapi jika saya diminta tinggal dalam dunia, saya tidak ingin mengikat diri saya…. Tetapi saat itu Victoire sudah berdoa cukup lama memohon agar mengetahui apa yang Allah inginkan dan agar dia dikuatkan untuk mampu melakukan hal itu, dengan setia dan gembira, ketika hal itu dinyatakan kepadanya.  Saya pergi ke gereja  St Geneviève dan tinggal di sana lama sekali.  Hanya Allah yang mampu mengubah hatiku dan mengalahkan penolakanku.  Sungguh, itulah yang dibuat-Nya sekali lagi dalam kebaikan-Nya yang tak terhingga dan menerima dari saya apa yang pasti akan ditolak orang lain dalam situasi yang sama.   Ketika kembali ke kamarnya, Victoire menulis dalam jurnalnya: Saya menghabiskan waktu sepanjang malam dengan duduk di lantai dan menangis…Saya terus merasakan penolakan dalam diri saya.

Dengan kepercayaan yang sungguh-sungguh, pada tanggal 9 Desember 1817

sebelum Komuni saya mengikrarkan kaul saya....pada saat yang sama itu semua ketakutan dan kekhawatiran saya lenyap selamanya. Hari itu, saat yang terindah dalam hidup saya, telah menjadi sumber konsolasi yang luar biasa dan alasan untuk bersyukur syukur yang tak habis-habisnya sampai saat ini.

Tetapi konsolasi (penghiburan rohani) tidak berarti lenyapnya rasa sakit dan penderitaan dalam hidupnya.

Victoire menggambarkan Rm Varin SJ saat orang kudus ini mencoba dengan segala cara untuk memperjelas dan memisahkan mana yang berasal dari Allah dan mana yang mungkin hanya berasal dari imaginasi saya.

Aku haus

Pada tahun 1816, demikian cerita Victoire, dia menerima tterang yang begitu jelas dan memberi penghiburan bahwa Allah menginginkan saya menjadi religius tetapi bukan menjadi seorang Karmelit sebagaimana yang sering saya bayangkan, melainkan untuk bekerja secara aktif bagi keselamatan jiwa-jiwa.  Walaupun demikian, ketertarikan pada Karmel tetap ada.  Tahun berikutnya, belum satu minggu setelah membuat kaul kemurnian yang bersyarat itu, saat berefleksi akan kebahagiaan orang-orang yang seluruhnya milik Allah dan yang kerjanya hanya mencintai dan bersatu dengan Dia, saya menyesal bahwa saya tidak dipanggil menjadi seorang suster Karmel.

Pada Hari Raya Hati Kudus tanggal 13 Juni, kerinduan kudus itu kembali terasakan. Saat itu Victoire mendengar suara dari salib di atas altar: Aku haus.

Aku haus

Pada Hari Raya Hati Kudus tanggal 13 Juni, Victoire mendengar suara dari salib di atas altar: Aku haus.

Saya sangat tergerak oleh kata-kata ini.  Saya berlutut menyembah dan menyerahkan diri saya kepada Allah dengan segenap hati saya untuk semua yang Dia minta dari saya.

Beberapa hari kemudian Victoire menyadari bahwa dia dipanggil untuk mendirikan sebuah Kongregasi yang anggota-anggotanya akan menjadi sahabat-sahabat Yesus dalam dunia masa kini.

Persoalan dari segala arah

Rm Varin secara serius mengambil tanggung jawab untuk menguji panggilan dan beberapa kali dia menyebabkan Victoiremenangis.  Tetapi Victoire telah belajar bahwa hanya dalam Allah dia mendapatkan kekuatan.  Ketika Rm Varin mengucapkan hal-hal yang kini tidak saya ingat lagi tetapi yang sangat kasar sehingga saya tidak mampu menerimanya, yang bisa saya lakukan hanyalah menangis dan berkata ‘Kasihanilah aku’.  Suatu suara yang jelas dan lembut menenangkan saya: Tabahkan hatimu, puteri-Ku; masa pencobaan pasti akan berakhir.  Rm Varin masih terus berkata-kata tetapi saya sudah dipenuhi dengan damai dan kepercayaan diri yang tak terkatakan. Selama retret menjelang Natal tahun 1817 Victoire mengalami kegelapan rohani yang sangat dalam.  Ketika Rm Varin memulai kotbah Misa tengah malamnya dengan kata-kata Bersukacitalah hal kamu semua yang mendengarkan aku karena aku membawa bagimu kabar suka cita…. Saya berkata dalam diri saya: Biarlah semua orang lain bersuka cita, saya tidak.  Tiba-tiba saya berubah seluruhnya….Saya dibanjiri oleh rasa damai yang tak tertandingi dan tak dapat dijelaskan.  Seluruh kehendakku berubah total dan diubah selamnya…Saya tidak lagi tawar menawar dengan Allah… Saya menjadi tenang dan menuruti segala yang Allah minta.

Salah satu sumber penderitaan Victoireyang lain adalah keluarganya.  Walaupun Rm Varin telah setuju bahwa memang Allah yang meminta Victoire mendirikan kongregasi, dia pasti diwajibkan untuk pulang ke Berry jika keluarga saya mendengar apa yang saya perbuat dan menjadi khawatir.  Kedua mertua saya pasti menentang saya, terutama ayah mertua yang bisa saja pergi ke Roma demi menggagalkan langkah saya.  Ternyata kedua mertua saya meninggal tanpa pernah tahu tentang usaha saya.  Hal ini sangat mengherankan karena ketika karya ini mulai di Amiens semua orang di kota itu tahu, dan beberapa orang dari Berry yang saya kenal juga terus menerus datang ke sini.

Kematian ibunya

Pada tahun 1820 Victoire dipanggil   pulang ke Parassy karena ibunya meninggal.  Meninggalnya ibu merupakan pengorbanan ganda karena ayah saya yang sekarang tua dan tidak tahu apapun yang saya perbuat, mendesak saya untuk tinggal bersama dia. Jika saya hanya punya satu keinginan dalam seluruh hidup saya, pasti di atas segala hal lain adalah untuk merawat ayah dan memberi dia segala bukti cinta saya.  Hati saya sungguh-sungguh terkoyak…  Ayah saya tidak mengerti.  Pengorbanan ini bagi saya adalah yang terbesar dari semuanya.  Saat meninggalkan dia saya begitu sedih dan tidak bisa dihibur oleh apa pun.

Nama yang penting

Rm. Varin telah mencoba untuk meyakinkan Victoire bahwa dia dipanggil untuk bergabung dengan para suster Hati Kudus.  Romo memberikan beban dengan memperkenalkan Victoire pada sang Pendiri,Sophie Barat, di tengah perjuangan dan penderitaan Victoire, di tengah keraguan dan ketidakpastian, saat dia menangis di sebuah taman, suatu terang terbit.

Nama saya Magdalen; saya berharap akan menjadi seperti santa pelindung saya yang begitu mencintai Yesus Tuannya sehingga ia melayani kebutuhan-Nya, dan mengikuti Yesus dalam perjalanan dan tugas-Nya sampai di kaki Salib. Tidak seperti para rasul, Magdalena dan para perempuan kudus tidak meninggalkan Yesus saat Dia membutuhkan, dan sepanjang masa hidup Yesus di depan umum mereka telah membuktikan diri sebagai sahabat-sahabat setia-Nya. Saya ingin sekelompok wanita religius yang, bersama saya, akan menanggung nama: Sahabat-sahabat Setia Yesus

Victoire telah mencapai identitas baru.

Sekarang ia adalah Marie Madeleine yang menjadi sahabat Yesus baik dalam perbuatan dan kebenaran, menjalani cara hidup yang disebut Yesus sebagai saudara dan saudari-Nya.

Serikat didirikan

Saat Kamis Putih di Paris, 30 Maret 1820, Rm Varin memberitahu Marie Madeleine Sebaiknya saya mengaku seluruhnya.  Saya percaya bahwa Allah menginginkan pekerjaan ini.  Saya sangat yakin, dan walaupun saya telah memberi kamu banyak pencobaan yang harus kau tahan dan menunjukkan ketidakpastian, sebenarnya saya tidak pernah meragukan hal ini sedetik pun.

Wheat and grapes on the walls of Parassy Church

Malam itu, Kamis Putih 30 Maret 1820, saat Marie Madeleine berlutut di depan Sakramen Mahakudus sambil merenungkan misteri yang sedang dirayakan, yaitu misteri Ekaristi, Derita dan Wafat Yesus, dia kembali menyerahkan dirinya secara bagu, dengan seluruh hatinya, untuk menjadi sahabat setia Yesus mulai dari palungan sampai kaki salib.

Bertahun-tahun kemudian, Marie Madeleine tidak pernah lelah mengingatkan para susternya bahwa pada malam Kamis Putih itulah, di antara Ruang perjamuan terakhir dan Kalvari, Serikat ini didirikan.

Sejak saat itu, perjuangannya bukanlah lagi menghadapi dirinya sendiri tetapi menghadapi mereka yang dulunya mendukung dia.  Ketika Marie Madeleine menyadari panggilannya untuk mendirikan suatu Serikat religius, banyak pastor yang meninggalkan dia termasuk mereka yang tidak secara aktif menentang dia.  Di Roma sendiri Marie Madeleine juga menemukan bahwa musuh sedang bekerja.

Hari-hari awal Serikat

Marie Madeleine mencintai anak-anak dan sejak awal pendirian di Amiens tahun 1820, para Sahabat Setia Yesus merawat anak-anak miskin.

Kemudian sekelompok kecil yang disebut pemungut katun  juga dirawat oleh para suster.  Anak-anak ini bekerja di pabrik-pabrik tekstil, mengumpulkan sisa-sisa katun di lantai, mesin pemintal dan kartu karena bahan katun sangat mahal.  Setelah dipilih dan dibersihkan, hasil pungutan ini dijual kepada para pemintal dan uang yang hanya sedikit yang mereka peroleh menjadi tambahan penghasilan keluarga.

Anak-anak ini diberi waktu untuk memilih dan membersihkan katun hasil pungutan mereka, tapi mereka juga belajar katekismus,  membaca dan aritmetika, bisa bermain bersama dan menikmati masa kanak-kanak mereka.  Marie Madeleine serta para suster telah memberikan kepada anak-anak ini kasih sayang pada saat eksploitasi anak merupakan norma yang biasa di jaman itu.

Dengan bertambahnya sahabat yang bergabung dengan dia, Marie Madeleine dapat mengembangkan karya bagi anak-anak miskin ini.  Tetapi untuk itu diperlukan tempat yang lebih luas.  Karena terkesan oleh kerja kelompok religius yang baru ini, pemerintah kota mendapatkan bangunan yang sudah tidak dipakai lagi dari Menteri Perang untuk digunakan oleh para suster.

Bekerja bersama Perempuan

Para Sahabat awal tidak membatasi karya mereka hanya untuk anak-anak miskin di lingkungan mereka.  Marie Madeleine melihat adanya kebutuhan untuk menolong keluarga-keluarga, khususnya para ibu.  Sebagai seorang yang pragmatis (berpikir tentang kegunaan) dan penuh belas kasih, Marie Madeleine mengenali penderitaan para perempuan miskin ini dan berbuat sesuatu untuk mengurangi penderitaan itu.

Saat-saat awal pendirian Serikat ini, apa yang terjadi dengan Eugène?

Eugène menyelesaikan pendidikannya di St. Acheul pada tahun 1826.  Rapor akhirnya di sekolah sangat bagus.  Bulan September tahun itu Marie Madeleine mengunjungi St. Acheul untuk mengucapkan terimakasih pada para staf atas bimbingan mereka terhadap putranya.  Seperti banyak anggota keluarganya yang lain, Eugène memilih belajar hukum dan dia kuliah di Universitas Paris.  (Ibunya, yang selalu cemas akan dia, menyediakan sebuah apartemen dan pembantu di sana baginya).  Pada tahun 1830 dengan kebanggaan seorang ibu, Marie Madeleine menulis kepada seorang teman bahwa  Eugène telah menyelesaikan ujian hukumnya dengan sangat baik.

Eugène ingin menikah maka ibu dan beberapa teman menolong dia untuk mencari istri yang cocok.  Akhirnya, setelah banyak doa dan perkenalan dengan banyak gadis,  Eugène sendiri bertemu Louise Bosquillon d’Aubercourt, bakal istrinya.  Marie Madeleine sangat menyukai Louise dan yakin bahwa pernikahan mereka akan diberkati di surga.   Eugène dan Louise mempunyai tiga orang anak, dan para suster FCJ tetap menjalin relasi dengan keturunan mereka.

Walaupun mereka saling mencintai, tampaknya sulit bagi  Eugène untuk memahami ibunya.  Marie Madeleine telah mendirikan 30 komunitas selama hidupnya dan  Eugène mengira bahwa sebagian warisannya telah digunakan untuk itu.  Tuduhan yang sangat menyakitkan ini jelas disangkal.  Berkali-kali relasi mereka menjadi tegang.  Walau demikian, Marie Madeleine mempunyai relasi yang penuh kasih dengan cucu-cucunya.

Konteks yang lebih luas

Setelah Revolusi Prancis, para perempuan di seluruh Prancis bekerja untuk memulihkan posisi agama dalam kehidupan Prancis dan untuk keamanan sosial.  Banyak dari perempuan ini membentuk kelompok-kelompok untuk dukungan yang mutual dan dalam banyak kasus kelompok ini menjadi komunitas-komunitas religius.  Sungguh-sungguh menakjubkan bahwa antara tahun 1800 dan 1820 terdapat 35 komunitas perempuan yang baru didirikan di Prancis, dan antara tahun 1820 sampai 1880  ada 6 komunitas baru yang didirikan setiap tahunnya.

Perempuan-perempuan yang mendirikan komunitas-komunitas ini datang dari berbagai kalangan masyarakat Prancis.  Digerakkan oleh penderitaan dan ketidaktenangan sosial di sekitar mereka, serta oleh kekurangan penghiburan rohani, mereka membaktikan diri mereka untuk melakukan aktivitas yang beragam demi mengurangi kemiskinan, menghibur orang sakit dan yang akan meninggal serta menolong pendidikan anak-anak.

Ada kebutuhan yang sangat besar dalam masyarakat Prancis bertahun-tahun setelah Revolusi dan ini menjadi pendorong lahirnya  kelompok-kelompok religius baru yangberbagi kerinduan untuk membangun kembali dan memperbaharui dunia mereka saat itu.  Para pendiri kelompok-kelompok ini merupakan orang yang dikobarkan oleh semangat untuk menyebarkan Kabar Gembira.  Mereka merupakan penemu jalan yang mereka tempuh.

Para pendiri ini hidup sangat sederhana dan menderita dalam usaha mereka memberikan hiburan bagi orang lain.  Mereka tidak hanya menjawab kebutuhan mendesak, tetapi mereka juga memperhatikan kebutuhan jangkan  panjang.  Kita dapat yakin bahwa saat itu istilah rencana berkelanjutan dan strategi jangka panjang tidaklah mereka kenal,, tetapi kita bisa melihat bahwa mereka sudah melakukan prinsip-prinsip dari teori manejemen modern ini.  Para perempuan pendiri ini menunjukan kepandaian mereka yang luar biasa dalam mempertahankan dan mengembangkan komunitas-komunitas mereka. Mereka menyebar dari kota dan desa asal mereka, keluar Prancis, sampai di Eropa dan dunia yang lebih luas.

Marie Madeleine merupakan bagian dari gerakan yang penuh semangat dan penting ini dan Sahabat-Sahabat Setia Yesus merupakan salah satu dari kelompok yang baru ini. Sejak awal didirikannya di Amiens, Prancis, mereka kini telah hidup dan berkarya di 15 negara dan bekerja di setiap benua.

Ketika Serikat dimulai pada tahun 1820, Marie Madeleline berusia 38 tahun dan dia masih hidup selama 38 tahun berikutnya.  Separuh pertama hidupnya ia adalah seorang anak, istri dan ibu janda; sementara separuh berikutnya ia adalah seorang suster apostolik, pembawa kabar gembira akan Yesus Kristus, berjuang dengan segala cara yang ia mampu untuk membuat Yesus dikenal dan dicintai.

Nama yang Indah dinyatakan

Antara awal Serikat tahun 1820 dan saat kematiannya tahun 1858, Marie Madeleine telah melakukan banyak perjalanan, mendirikan komunitas-komunitas di banyak keuskupan di Perancis, Savoy (Italia), Inggris, Swis dan Irlandia.  Dua kali ia mengunjungi Roma, tahun 1826 dan 1837, untuk mencari pengesahan atas Serikat yang masih muda ini.  Walaupun mendapat tantangan banyak, khususnya dari para Yesuit, Marie Madeleine mendapat penerimaan kepausan dan persetujuan akan nama Sahabat-sahabat Setia Yesus dari Paus Leo XII pada tahun 1826.  Ketika ia kembali ke Roma tahun 1837, Paus Grekgorius XVI mengatakan kepadanya:

Engkau mempunyai nama yang indah, tetapi engkau harus menanggung akibatnya dan sebagai Sahabat-sahabat Yesus menderita bersama Dia.

Paus Grekgorius XVI

Kemudian hari 

Kata-kata Keberanian dan Kepercayaan Diri selalu diucapkan Marie Madeleine, suatu moto yang dia pelajari lewat pengalaman; bukan saja saat menghadapi kematian, sebagai janda dan tantangan membesarkan anaknya sendirian, tetapi juga saat menghadapi perlawanan dan hambatan dalam perkembangan Serikat.

Katakanlah satu sama lain beranilan, berani dan percaya diri.  Itulah yang diperlukan, tulisnya kepada Suster Maria Lebesque pada tahun 1830.  Berani dan percaya diri, di atas segalanya percaya diri yang besar adalah variasi dari tema yang sama yang muncul dalam hampir semua surat personal yang dia tulis.  Jelas kata-kata ini merupakan doa yang ia panjatkan bagi orang-orang tersebut.

Kepada setiap orang Marie Madeleine saat ini masih berkata: Beranilah dan percaya diri-lah, sadar bahwa inilah giliran kita untuk membuat perubahan di dunia ini.

Dalam Memoarnya, Marie Madeleine menulis bahwa ia memberikan secara rinci pengalaman pendirian Serikat

ini untuk menunjukkan kepadamu bahwa saya sama sekali tidak berjasa dalam pendiriannya dan supaya kamu melihat bagaimana Allah dalam kebaikan-Nya telah melakukan segalanya sendiri.

Saat Meninggalnya, Paris, Senin Paska 5 April 1858

Pada hari Minggu Paska, sehari sebelum kematiannya, Marie Madeleine dikunjungi oleh  seorang cucunya, Léon de Bonnault.  Pada hari Senin Paska, dengan dikelilingi oleh para susternya – anggota Serikatnya yang masih muda itu – Marie Madeleine meninggal.  Marie Madeleine dimakamkan di pekuburan kecil dekat panti asuhan yang dia dirikan di Gentilly, bagian barat laut Paris.

Kuburnya tetap di Gentilly sampai tahun 1904.  Kemudian, karena gerakan anti gereja di Prancis dan adanya tekanan yang kuat terhadap rumah-rumah biara, jenasahnya diambil, dengan ijin penuh dari pemerintah gereja dan lokal, dan dibawa ke Biara FCJ Upton Hall dekat Birkenhead, Inggris.

Jasadnya tetap di sana sampai bulan Juni 1980 ketika sekali lagi ia dipindahkan, kali ini atas permintaan Postulator yang mengurus Proses Beatifikasi dan Kanonisasinya.  Jenazah Mary Madeleine dikebumikan di kapel di Biara FCJ  Stella Maris Broadstairs, Inggris.

Sebuah perjalanan terakhir menunggunya. Pada bulan September 2012 jenasahnya dipindahkan terakhir kali ke gereja St. Dominikus di Paris, di lingkungan di mana ia pernah tinggal dan meninggal. Selanjutnya…

Marie Madeleine telah menyatakan bahwa ia sama sekali tidak berjasa dalam pendirian Serikat FCJ, tetapi saat kematiannya, walaupun para susternya sangat berduka cita, ada sukacita dan syukur karena Marie Madeleine telah bekerja sama penuh mewujudkan hasrat Allah bagi misi hidupnya.

Rasa syukur dan suka cinta ini tetap menjadi milik kita saat ini!

Untuk informasi lebih lanjut, periksa halaman sumber kami.